Wajah Street Food Indonesia

Posted by Sofi 5.07.2013 2 comments
Sebut saja Monika dan Anto, sepasang suami istri yang hidup di Jakarta. Suatu malam, Anto mengajak istrinya keluar.
‘Dinner, yuk!’
2 kata ini langsung direspon Monika dengan cepat. Tanpa bertanya lebih lanjut, Monika bergegas mengganti bajunya dengan sebuah gaun malam berpotongan sederhana. Kelezatan makanan yang dipadu dengan suasana mewah nan romantis di restoran melela dalam bayangannya. Slurp!
Setelah beberapa hari ini mereka melewati makan malam a la warung kaki lima, akhirnya kesempatan menikmati makan malam lebih mewah datang lagi. Yuhuuu… begitu selesei menambahkan riasan di wajahnya, Monika bergegas menemui suaminya yang sedang nonton TV.

Melihat dandanan istrinya, Anto tertegun.
Ha? Kok bajunya yang itu?” Belum sempat Anto menyeleseikan kalimatnya, Monika langsung memotong.
“Dinner, kan?”
“Ya udah. Ayo. Keburu hujan, ntar”. Jawabnya.
Tanpa banyak bicara, langsung diambil motor sportnya dan mereka berboncengan membelah ramainya kota Jakarta. Tidak berjalan lama, tiba-tiba Anto menghentikan sepedanya di sebuah warung di pinggir jalan Monika mengira suaminya mau membeli rokok di kios samping warung itu. Apalagi rencana mereka ke restoran.
“Turun” Perintah suaminya halus.
Monika turun, tapi mematung.
“Ayoo…” Ajak suaminya
“Lho?“Gantian Monika yang bertanya. Mau beli rokok saja harus ajak dia. Belum memperoleh jawaban, matanya sudah menangkap langkah kaki Anto menuju beberapa bangku panjang yang baru terisi setengahnya. Terlihat seorang bapak sedang mengaduk makanan di wajannya diatas kompor yang menyala. Nasi goreng…
Katanya ngajak dinner” Monika mencoba mengingatkan. Siapa tahu suaminya lupa tujuan mereka.
“Dinner itu makan malam, kan?. Kita dinner disini saja”
Dikiranya Anto mau ngajak dinner di restoran, ternyata…
Aaaahh… Salah persepsi.

***
Beda Persepsi Beda Reaksi
Monika mengira mereka akan makan di restoran, Ternyata Anto mengajaknya ke warung pinggir jalan. Mereka memiliki persepsi berbeda. Dinner bagi Anto ya makan malam seperti biasa. Tidak ada yang lebih istimewa. Bagi Monika lain lagi. Kalau makan malam bisa dimana saja. Tapi ketika menyebut kata dinner, asosiasinya ya ke restoran. Kalau mau pergi kesana, penampilan harus diperhatikan termasuk dalam urusan make-up dan baju yang tertata.

Seandainya dia paham akan diajak makan di street food, bisa jadi reaksinya lain. Cukuplah dengan pakaian rumah yang dikenakan ditutup dengan sweater. Jadi deh.
Bukankah makan di warung pinggir jalan identik dengan dandanan casual?. Dari sini terlihat antara restoran dan street food memiliki ‘kelas’ yang berbeda.

Penjual street food sampai saat ini tidak menuntut pengunjungnya untuk tampil rapi jali jika ingin makan di tempatnya. Street food tidak hanya menawarkan kelezatan makanan, namun juga menjadi media bagi pengunjungnya untuk tampil apa adanya. Tidak ada make up menor. Pun juga tidak ada tuxedo.

Meski begitu, kelihaiannya memanjakan lidah pengunjungnya tidak perlu diragukan lagi. Banyak penjual street food yang kualitas rasanya setara dengan masakan a la chef bintang lima.

Street Food, Apakah Itu?
Secara umum, street food diartikan sebagai makanan dan minuman yang dijual di pinggir jalan atau di titik-titik keramaian lainnya. Orang Indonesia menyebutnya dengan Warung Pinggir Jalan, PKL, atau makanan jajanan.


Sumber: http://lekgunsketchbook.blogspot.com

Pada dasarnya, berdasarkan keterangan dari Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi street food ini dapat digolongkan menjadi tiga:
1. Makanan Jajanan Berbentuk Panganan. Contohnya kue molen dan martabak.



2. Makanan Jajanan yang diporsikan, seperti nasi goreng dan bakso.



3. Makanan jajanan berbentuk minuman seperti es cendol dan es campur.



Selain membedakan street food dari jenis makanan yang dijual, street food juga dibedakan dari mobilitasnya, yakni: Penjaja diam yang ngendon atau menetap tempat jualannya, penjaja ½ diam yang terkadang keliling terkadang mangkal di suatu tempat serta penjaja yang tidak bisa diam alias penjaja keliling.
Budaya masyarakat yang semakin menggemari turun ke jalan untuk menikmati makanan yang dipicu oleh daya tarik dari pedagang kaki lima itu sendiri serta peran media yang menyemarakkan geliat wisata kuliner nusantara ini menyebabkan jumlah pedagang kaki lima semakin bertambah. Pakar kuliner Bondan Winarno mengatakan bahwa saat ini ada sekitar 85 persen makanan di dunia ini yang tersaji di jalanan. Tidak heran jika kemudian muncul angka ini. Karena, saat ini, begitu kita keluar rumah akan disambut oleh berbagai penjaja makanan ini dengan segala veriasi menu yang ditawarkannya.

Street Food dan Kekayaan Budaya
Kekayaan budaya yang bisa dilihat dari street food nya antara lain:
1. Beda daerah Beda Selera
Betapa keragaman selera masing-masing daerah bisa dilihat salah satunya melalui street food. Contohnya sambal, menu sejuta umat yang banyak menemani menu lalapan. Beda daerah akan berbeda rasanya. Ada daerah yang rasa sambalnya pedas asin. Ada juga daerah yang rasa sambalnya cenderung manis.
Contoh lain adalah pecel dan karedok. Komposisi bahan keduanya hampir sama tapi ada perbedaannya juga. Selain itu karedok identik dengan Jawa Barat, sedangkan pecel identik sebagai menu khas Jawa Timur.

2. Masyarakat Yang Kreatif dan Humoris
Jika warung bakso lain menyebut dirinya ‘Bakso Enak’ ‘Bakso Lezat’ dan sebaginya, di sebuah warung bakso di Jember Jawa Timur justru menamakannya dengan ‘Bakso Ora Pati Enak’. Artinya Bakso Yang Tidak Begitu Enak. Low profile sekali, bukan?. Alih-alih sepi pengunjung, justru dengan promosi yang rendah hati ini mampu menarik pengunjung untuk terus berdatangan. Strategi marketing yang melawan arus sedang diterapkan. Kreatif sekali.

Ada lagi contoh betapa kreatif dan lucunya PKL di Indonesia. Di Surabaya ada warung yang nama makanannya unik dan bisa membuat kita mengernyitkan dahi. Ada Krisdayanti (sate usus ayam yang digoreng), Mbok Enom artinya istri muda untuk menyebut es sinom, Sembako (nasi bungkus), Aspal (sambal), Bantal (lumpia), Guling (risoles), Pakan Doro (Pakan burung alias bakwan jagung) dan lain sebagainya. Makannya bisa pakai sekrop (sendok) atau tangan di lapangan (piring). Ada kolam renang (air di wadah) yang disediakan untuk cuci tangan.
Kebetulan saya belum pernah ke warung yang katanya laris manis itu. Mungkin jika saya kesana, hanya bisa tersenyum atau justru melongo mendengar berbagai istilah lucu yang disebutkan bersahutan itu.

3. Semangat Gotong Royong
Orang Indonesia itu semangat gotong royongnya tinggi. Banyak penjual street food yang memanfaatkan emperan toko untuk berjualan. Dari sini saja kita bisa melihat adanya semangat untuk berbagi ladang rizki antara pemilik toko dan penjual street food.

Selain mampu menampilkan sisi positif wajah Indonesia, keberadaan street food juga mampu menyingkap sisi buruknya. Contohnya terkait kebersihan. Bondan Winarno pernah mengatakan kalau perut kita sudah terbiasa jorok, jadi makan apa saja tidak sakit.
Pernyataan ini muncul karena melihat banyak pemandangan pedagang kaki lima di Indonesia yang kurang menjaga aspek kebersihan dalam berjualan.

Sambil menulis esai ini, saya menyempatkan diri jalan-jalan ke berbagai negara untuk melihat wajah street food nya. Beda negara beda pula penampakan street food nya. Tentu saja saya jalan-jalan dengan identitas sebagai cyber traveler. Begitu melihat penampakan street food di beberapa negara yang terkesan jorok, selera untuk pergi kesana jadi berkurang meskipun seandainya kesempatan dan kemampuan itu datang.

Ini pula yang mungkin terjadi pada calon wisatawan yang bisa jadi minatnya berkunjung ke Indonesia menjadi berkurang karena melihat wajah street food nya yang kurang terjaga kebersihannya.

Di Singapura, setiap vendor street food mengantongi sertifikat kebersihan terkait makanan yang disajikan dengan grade yang berbeda-beda. Dengan sertifikat ini, para vendor akan berusaha memberikan pelayanan terbaiknya dan konsumen pun nyaman menikmati makanannya.

Salah satu pe-er pemerintah adalah bagaimana caranya memoles keberadaan street food agar bisa tampil bersih. Cara yang diterapkan Singapura bisa dicontoh. Sebagai salah satu daya tarik wisata, street food harus dipoles sedemikian rupa agar banyak wisatawan yang beranjangsana.
Karena bagaimanapun, salah satu mantra PDKT: ‘Jalan menuju hati orang asing adalah melalui perutnya’ masih diakui keampuhannya.


Baca Selengkapnya ....

Al-Gore, Bumi dan Daihatsu

Posted by Sofi 5.05.2013 0 comments
Ketika melawan George W. Bush pada pemilu 2000, Al-Gore memang kalah. Tapi namanya akan tetap dikenang sejarah sebagai salah satu pejuang lingkungan hidup. Sampai batas waktu tidak tertentu, film An Inconvenient Truth akan tetap bisa dinikmati. Sebuah film dokumenter tentang bencana yang akan terjadi jika aktifitas perusakan lingkungan terus terjadi.

Berbagai pengakuan atas dedikasinya menyelamatkan lingkungan telah diakui dunia. Meraih penghargaan Academy Award 2007 sebagai film dokumenter terbaik serta menjadi peraih nobel adalah jejak apresiasi dunia atas bukti kecintaannya kepada bumi.

Demi bumi, semuanya harus bergerak melakukan perbaikan. Dimulai dari diri sendiri. Masyarakat harus bergerak. Pemerintah harus bergerak. Para pelaku industri juga harus bergerak

Meskpun (mungkin) langkah perubahan yang dilakukan kelihatan kecil, tapi jika dikerjakan dengan spirit cinta kepada bumi, maka hasilnya juga akan luar biasa. Bunda Theresa pun pernah mengatakan: "We cannot do great things on this earth, only small things with great love."

Sebuah Janji Untuk Dunia
Pada thaun 1997 lalu, kita pernah berjanji untuk bersama-sama mengurangi emisi karbondioksida dan 5 gas rumah kaca lainnya. Janji itu tertuang dalam Protokol Kyoto. Jepang adalah salah satu negara yang konsisten memegang janji itu dan melakukan berbagai perubahan untuk lingkungan yang lebih baik. Daihatsu adalah salah satu produsen moda transportasi asal Negeri Matahari Terbit yang mengusung konsep teknologi hijau.

Daihatsu dan Pemenuhan Janji Itu
Salah satu komitmen Daihatsu untuk memproduksi mobil dengan teknologi hijau yang notabene ramah lingkungan di buktikan dengan memproduksi compact car. Mengapa compact car dikatakan ramah lingkungan. Paling tidak ada 3 alasannya:

1. Mobil hemat bahan bakar mampu mengurangi emisi CO2. Selama ini CO2 adalah salah satu faktor yang bertanggungjawab terhadap adanya pemanasan global. Contoh mobil yang hemat bahan bakar adalah mobil hybrid.

Tapi tunggu dulu…

Mobil hybrid memang hemat bahan bakar. Tapi hemat bakar bakar saja tidak mampu mewujudkan mobil yang ramah lingkungan. Ada faktor lain yang harus diperhatikan, yakni ukuran mobil. Dalam compact car, bahan untuk pembuatannya memakai alumunium, bukan baja sehingga berat compact car kebih ringan dibanding mobil hybrid. Itu artinya penggunaan bahan bakar pada compact car rendah sehingga bisa mengurangi emisi CO2.

2. Penggunaan logam mulia yang lebih sedikit.
Mobil hybrid dibuat dari berbagai material seperti neodymium dan didymium untuk membentuk bodi nya. Sedangkan kacanya yang bisa menyerap sinar UV terbuat dari cerium. Kita tahu bahwa ketiga material ini merupakan contoh material yang cukup langka.
Semakin besar kendaraan, semakin banyak penggunaan energi dan sumberdaya langka berupa logam mulia. Semakin ramping dan sederhana sebuah kendaraan, kuantitas dari penggunaan material ini juga semakin sedikit. Keberadaan compact car merupakan wujud penghematan terhadap berbagai bahan baku yang langka yang bersifat tidak dapat diperbarui. Inilah ilustrasi penggunaan material yang langka jumlahnya tapi boros penggunannya.



3. Diterapkannya Life Cycle Assessment (LCA) yang pro lingkungan.
Daihatsu menerapkan keseluruhan proses mulai dari hulu sampai hilir harus benar-benar ramah lingkungan. Proses mulai dari pembelian bahan baku (Purchasing of materials), proses pembuatan (production) yang menggunakan metode produksi yang benar-benar efisien sehingga bisa mengurangi penggunaan material yang tidak penting, kemudian tahapan pengoperasionalan atau driving, perawatan hingga tahapan daur ulang (scrapping) benar-benar diperhatikan.



Komitemen Daihatsu untuk menciptakan kendaraan yang ramah lingkungan dapat dilihat dari 4 pendekatan berikut:
1. Mobil yang ramah lingkungan dibuat dari tempat yang juga ramah lingkungan. Ini adalah rumus yang dipegang betul oleh Daihatsu. Semua fasilitas produksi yang digunakan mengacu kepada mindset ramah lingkungan. Cara yang ditempuh adalah dengan membangun tempat produksi seramping mungkin. Tujuannya untuk memperkecil peluang merusak lingkungan selama proses produksi.
Selanjutnya dengan menggunakan pendekatan SSC (Simple, Slim and Compact) yang tujuannya untuk menghilangkan penggunaan peralatan dan bahan baku yang tidak perlu. Dengan cara ini, jumlah engergi yang digunakan dan emisi karbon yang dikeluarkan bisa berkurang. Gambar berikut adalah contoh penggunaan konsep SSC pada pabrik Daihatsu di Kyusu Jepang yang selesei dibangun pada tahun 2007.



2. Secara konstan mengurangi berat dan ukuran produk.
Semakin berat sebuah mobil, bahan bakar yang dibutuhkan juga semakin besar. Sedangkan compact car lebih ringan sehingga bahan bakar yang dibutuhkan juga semakin sedikit.
Contohnya adalah kendaraan buatan Daihatsu bernama Mira e:S yang merupakan generasi ketiga mobil ramah lingkungan. Berat mobil ini 60 kg lebih ringan dari ukuran semula. Dengan tetap memperhatikan faktor keamanan, kendaraan ini dibuat dengan berat sekitar 730 kg dan tentu saja dengan perancangan yang hemat bahan bakar.



3. Eco-Idle System dan i-EGR System
Daihatsu paham bahwa kita sampai saat ini masih berjibaku dengan masalah macet. Kalau sudah macet tidak mengenal jam. Oleh karena itu, agar penggunaan bahan bakar tetap efisien dalam kondisi ‘idle’ dibuatlah Eco-Idle system.
Dalam kondisi tertentu bisa mati atau hidup secara otomatis. Dengan adanya teknologi ini tidak ada bahan bakar yang terbuang sia-sia. Jika kecepatannya dibawah 7km/jam atau dalam kondisi ‘hidup segan mati tak mau’ alias lambaaatt banget, maka mesin akan secara otomatis mati. Meski mesin mati, tapi audio dan sistem navigasinya tetap bisa digunakan. Ketika mobil sudah benar-benar berhenti, mesin tetap berhenti.
Asyiknya, berapa lama mobil berhenti dan berapa banyak bahan bakar yang dismpan dalam kondisi mesin mati bisa dilihat di penunjuk meterannya. Nah, ketika rem sudah dilepas, otomatis mesin akan mulai hidup. Semua perpindahan kondisi dari hidup-mati-hidup lagi terjadi dalam kondisi yang smooth.


Selain menggunakan Eco-Idle System, juga menggunakan i-EGR system. Fungsinya untuk membuat proses pembakaran terjadi secara sempurna sehingga emisi CO2 nya rendah.

4. Big Possibilities.
Daihatsu sadar bahwa kendaraan yang ramah lingkungan pasti membutuhkan mesin yang ramah lingkungan juga. Mobil yang ideal untuk memenuhi kebutuhan ramah lingkungan adalah yang hemat bahan bakar, bertenaga, suaranya halus dan padat (compact). Compact car dirancang dengan ‘hanya’ menggunakan dua silinder. Jumlah ini lebih efisien dalam penggunaan bahan bakar jika dibandingkan menggunakan tiga silinder yang banyak digunakan oleh non-compact car.
Pengembangan untuk menghasilkan mobil dengan kualitas lebih baik akan terus dilakukan oleh Daihatsu. Karena menghadirkan kendaraan yang ramah lingkungan ke seluruh penjuru dunia adalah cita-citanya. Melakukan sesuatu yang berarti untuk bumi adalah semangatnya. Inilah cara Daihatsu memenuhi janjinya untuk menyelamatkan bumi. Karena bagaimanapun, pedoman “jangan ada dusta diantara kita” memang harus tetap dijaga.

P.S: Semua gambar didapatkan dari: http://www.daihatsu.com


Baca Selengkapnya ....
Tutorial SEO dan Blog support Online Shop Tas Wanita - Original design by Bamz | Copyright of Unspoken Thought.